Dua pawang
hujan, Akie Setiawan (38) dan Taufik Hidayat (35), berdiri berbaris dengan
wajah menengadah. Kaki diregangkan. Mulut komat-kamit menyeru
doa. Kedua tangan mereka digerak-gerakkan seperti sedang menyibak awan. Dua
menit berlalu, awan yang menutupi matahari pun menyingkir dan sinar matahari
terasa menyengat di kuduk.
”Bisa
dilihat sendiri, terbukti kan?”
tanya Akie tersenyum. Ia tampaknya tidak butuh jawaban. Akie merasa perlu
membuktikan kepiawaiannya menggeser awan demi meyakinkan lawan bicara bahwa
kerja pawang hujan itu tidak main-main.
Akie dan
Taufik adalah dua pawang hujan di Yayasan NurSyifa’, Kalipasir, Jakarta Pusat,
yang telah berpraktik sejak lima
tahun lalu. Siang itu keduanya beraksi di atap gedung
yayasan.
Selama ini
Akie biasanya dibantu dua teman saat prosesi pengalihan hujan. Ia bertindak
sebagai imam dan dua temannya sebagai makmum. Jika dilakukan bertiga, kerja
terasa lebih enteng.
Prosesi yang
dilakukan pawang hujan bisa berbeda-beda, begitu pula media perantara yang
dibutuhkan. Jika Akie cukup dengan doa dan sejumlah gerakan, pawang lain warga
Palmerah, Jakarta Pusat, sebut saja Titin, membutuhkan bokor berisi kemenyan,
garam, lisong, kapur, pinang, dan sirih.
Titin
biasanya meminta klien membuang nasi satu genggam ke atas genting dan membuang
lisong, kemenyan, kembang, dan kapur ke sungai. Ia cukup mengawal di rumahnya
sendiri. ”Elu tinggal minta agar hujan tidak turun satu hari, seminggu,
terserah elu,” kata Titin yang mengaku mendapat ilmu menangkal hujan dan
ilmu supranatural lainnya dari Banten.
Beda lagi
dengan Wagiman Sidharta (56), pawang hujan warga Klender, Jakarta Timur. Ia mensyaratkan
3-5 kaleng bir sebagai mediator. ”Saya cukup duduk sambil berdoa. Bir itu tak
ubahnya air putih buat saya,” kata pawang yang sudah puluhan kali
”menyelamatkan” lapangan sepak bola dari guyuran hujan, seperti pada ajang
Piala Tiger, Piala Asia, dan sepak bola antarklub di Lebak Bulus.
Soal bir
ini, ada satu cerita. Pernah dalam sebuah acara, panitia memberi bir yang belum
dibayar kepada Wagiman. Akhirnya turun hujan. Lalu, sewaktu berlangsung
pertandingan sepak bola antarmedia massa
se-Jawa-Bali, seorang teman mendadak menenggak segelas bir di sampingnya. ”Saya
bilang, sebentar lagi hujan, dan hujan beneran. Saya enggak tahu ini apa, tapi
bir sudah menjadi lantaran,” kata Wagiman, yang dalam melalukan ritual mengaku
dibantu makhluk lain.
Gemar berpuasa
Umumnya para
pawang belum mengetahui kemampuannya sampai kemudian mencoba dan ternyata
manjur. Wagiman, yang sejak lahir tidak pernah makan semua jenis hewan dan
sejak tahun 1983 tidak pernah makan nasi, mengaku tidak tahu kapan diberi
kemampuan itu. Satu yang ia percaya, ini ada kaitannya dengan kegemarannya
berpuasa sejak bujangan.
Ia pernah
berpuasa Senin-Kamis hingga tujuh bulan. Ia juga berpuasa tiga hari pada setiap
hari kelahiran atau weton (hitungan Jawa) yang berarti 35 hari sekali. Ia
bahkan pernah puasa tujuh hari tujuh malam tanpa makan apa pun, kecuali air
putih. Wagiman juga berpuasa ngrowot (hanya makan sayuran), puasa mutih
(hanya nasi), dan ngalong (hanya buah-buahan) masing- masing selama 40
hari.
”Puasa itu
selain badan enak, batin pun tenang dan peka,” kata Wagiman, yang selama
berpraktik tidak pernah mematok tarif tertentu alias seikhlasnya.
Berpuasa
juga dilakukan Akie, Taufik, dan Hamzah, pawang hujan asal Sleman, Yogyakarta,
lulusan Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Mereka terbiasa shalat malam
serta berzikir.
Puasa hanya
satu hal. Ada beberapa fase yang
harus diikuti, seperti dilakukan Akie dan Taufik. Tahap pertama adalah Pembersihan Diri, yakni dengan berzikir. Fase kedua adalah Terapi Buka Aura yang
dipimpin Ketua Yayasan NurSyifa’-Reno
Wilopo dan ketiga adalah Pelatihan Pawang Hujan. Setiap malam mereka harus
shalat tahajud dan setiap pagi shalat dhuha. ”Setelah itu, akan terlihat siapa
yang berbakat dan siapa yang tidak,” kata Akie.
Mengalihkan
hujan
Nah, kalau
ramalan cuaca dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika kadang-kadang
meleset, apakah pawang hujan bisa menjadi ”tersangka”? Mereka spontan
menyangkal. ”Kami ini bukan mengubah cuaca, tetapi memindahkan hujan ke
tempat lain. Jadi, hujan tetap turun. Sama seperti BMKG, saya pun pernah
gagal,” kata Wagiman.
Akie juga
mengaku pernah gagal sehingga turun gerimis meski itu terjadi saat mendung
benar- benar pekat. ”Bayangkan, saya harus menahan dari pagi sampai malam.
Sangat melelahkan,” katanya. Akie juga pernah ”bertempur” dengan pawang lain
sewaktu resepsi pernikahan. ”Saya buang ke selatan, dia ke utara, jadi
berbenturan di tengah. Terjadi percikan api dan kilat. Mendung tebal sekali,
tapi hujan turun deras setelah acara selesai,” tuturnya.
Pengalihan
Hujan adalah wujud komunikasi antara manusia dan alam. ”Semua orang bisa.
Pernah enggak merasa gerah saat hujan mau turun? Itu sebuah bentuk komunikasi,
disadari atau tidak. Soal arah angin, itu gampang sekali kita rasakan,” ujar Hamzah.
Memang,
untuk ”menyuruh” awan menyingkir, ada komunikasi khusus yang perlu dilatih.
Bagi Hamzah, ilmu mengalihkan hujan ini bisa juga disebut sebagai ilmu yang
melampaui hal kasat mata, sebagai ilmu yang metafisik.
Maka, bisa
dimaklumi kalau para Pawang Hujan ini pun mampu Meramal Jodoh, membaca Aura,
hingga Memburu Hantu.
*Perhatian,
Kami di NurSyifa’ tidak melayani Meramal Jodoh.
Sumber :
Terapi NurSyifa'
membantu Anda untuk mewujudkan Kemampuan Bathin yang Adi Kodrati dan
mendapatkan Kehidupan yang lebih baik serta Meraih Kesuksesan dan Kebahagiaan
Dunia Akherat.
Kalaupun anda sedang dilanda
Permasalahan dan Bermasalah
(Pusing, Bingung, Stres, Cemas, Takut, Was-was, Gelisah, Galau, Emosi
Tinggi, Mudah Marah, Sensitif, Sedih, dll).
Maka
segeralah Konsultasikan Masalah tersebut agar jangan sampai Bertambah Parah
bahkan Kronis yang tentunya sangat Tidak di Harapkan dan dapat Menghancurkan
Masa Depan serta Kehidupan anda.
Konsultasikan
Segala Permasalahan anda segera dengan mas Reno Wilopo 08561236269 (Biaya
Konsultasi + Terapi + Solusi + Pelatihan utk Memampukan Diri selama 1-2
jam, mulai dari Rp. 500.000,- Dengan Perjanjian waktu terlebih
dahulu).
Baca Selengkapnya......